GoPresent – Dugaan pungutan liar di lokasi pertambangan emas tanpa izin (PETI) Kecamatan Taluditi, Kabupaten Pohuwato, menyeret nama tiga kepala desa. Mereka dituding terlibat dalam pengumpulan dana sebesar Rp5 juta per alat berat yang masuk ke area tambang melalui portal di Desa Puncak Jaya.
Salah satu tokoh masyarakat Pohuwato, Yusuf Mbuinga, angkat bicara setelah kabar itu mencuat. Ia menyoroti pengakuan Kepala Desa Tirto Asri, Hajir Towalu, yang menyebut bahwa pungutan tersebut merupakan hasil kesepakatan bersama warga dan pelaku tambang untuk memperbaiki jalan dan menormalisasi sungai di tiga desa — Puncak Jaya, Kalimas, dan Tirto Asri.
Namun, pernyataan itu dinilai Yusuf sebagai tindakan yang berpotensi melanggar hukum karena tergolong pungutan liar (pungli).
“Kalau menurut saya, sebaiknya tiga kepala desa tersebut tidak melakukan hal itu. Sebab, setiap pungutan yang tidak diatur oleh undang-undang atau peraturan resmi dapat dikategorikan sebagai pungli,” tegas Yusuf, Minggu (9/11/2025).
Yusuf juga mengingatkan bahwa berdasarkan Undang-Undang Pemerintahan Desa, seorang kepala desa dilarang melakukan perbuatan tercela atau bertentangan dengan norma hukum.
“Kita semua tahu bahwa PETI adalah kejahatan lingkungan. Jadi, jika ada permintaan setoran terhadap pelaku tambang ilegal, apalagi dilakukan dengan kesadaran penuh, maka tindakan para oknum kepala desa itu bisa dijerat dengan pasal tindak pidana pencucian uang (TPPU),” ujarnya.
Yusuf mendesak aparat penegak hukum (APH) untuk segera turun tangan dan menindak tegas siapa pun yang terlibat dalam praktik ilegal tersebut.
“Kasus ini tidak boleh dibiarkan. Kami memiliki bukti digital terkait pengakuan itu. Sekarang kita ingin lihat, apakah aparat penegak hukum akan diam saja atau mengambil langkah hukum,” tandasnya.
Sebelumnya, melalui pemberitaan bercak.id berjudul “Kades Tirto Asri Akui Pengumpulan Atensi untuk Alat Berat di PETI Taluditi, Begini Penjelasannya”, Hajir Towalu membenarkan adanya pengumpulan dana Rp5 juta per alat berat yang beroperasi di wilayah tambang ilegal Taluditi.
Hajir berdalih, dana tersebut merupakan hasil kesepakatan bersama antara warga dan pihak pengguna alat berat untuk memperbaiki akses jalan serta melakukan normalisasi sungai.
“Setahu saya, itu dilakukan untuk perbaikan jalan yang dilewati alat berat. Setiap alat menyumbang Rp5 juta, dan dana itu digunakan memperbaiki jalan di tiga desa,” ujar Hajir dalam berita tersebut.
Ia juga menambahkan, kegiatan itu mencakup pembangunan jembatan dan normalisasi sungai sepanjang sekitar 750 meter, yang dilakukan secara swadaya menggunakan dana dari hasil “atensi” tersebut.
Meski demikian, pengakuan itu kini menimbulkan tanda tanya besar terkait dugaan keterlibatan aparat desa dalam aktivitas tambang ilegal di Taluditi.
Aktivitas PETI di wilayah tersebut selama ini diketahui telah menimbulkan berbagai persoalan, mulai dari kerusakan lingkungan hingga rusaknya infrastruktur jalan.
Dan kini, praktik yang awalnya dianggap sebagai solusi perbaikan infrastruktur justru membuka babak baru persoalan hukum yang menjadi perhatian serius masyarakat Pohuwato. (rik)













